KULINER-Cilok bagi penulis adalah jajanan yang penuh kenangan, pertama kali mencoba makanan ini ketika masih SD. Sampai sekarang bentuknya tidak berubah, tetap bulat mengkilat dengan cita rasa sedapnya yang tidak banyak berubah pula.
Nama 'cilok'relatif baru ketika itu, kami sendiri tidak tahu apa namanya. Baso tahu bentuknya kok bulat-bulat begitu, makannya pun tidak pakai piring melainkan ditusuk? Si Mamang menjelaskan, cilok artinya aci dicolok/ditusuk, aci adalah nama lain dari tepung kanji atau tapioka, bahan dasar jajanan ini.
Sampai saat itu kami tidak tahu bahwa cilok adalah jajanan khas kreasi warga Bandung, tempat di mana kemungkinan besar cilok ini pertama kali diciptakan. Maka sekarang cilok tampaknya sudah bukan 'milik' masyarakat Sunda saja, di daerah Jawa bagian tengah atau timur pun jajanan ini populer, dengan nama yang tetap sama, cilok.
Mamang Cilok waktu itu biasa menjualnya secara keliling pake 'tanggungan', setiap hari dia mangkal di balik pagar sekolah. Waktu keluar main adalah saatnya menyerbu si Mamang Cilok sambil menyiapkan uang recehan di saku masing-masing.
Kebetulan kampus SD kami dulu tidak banyak muridnya, lingkungan sekolah pun tak terlalu ramai, sunyi, terdapat beberapa pepohonan flamboyan besar dan lapangan rumput yang luas sekelilingnya, Jadi kami tak perlu berebut untuk mendapatkan cilok yang kami sukai.
Sekarang lokasi di sekolah kami telah berdiri sebuah trade center megah dengan jalan di depannya yang tidak pernah sepi, apalagi tak jauh dari sana terdapat pintu tol dan perempatan yang menuju ke arah utara di mana terdapat perguruan tinggi swasta dan perumahan-perumahan penduduk yang rapat.
Nah, setiap melewati kawasan itu yang teringat adalah masa-masa indah bersekolah... dan tentu saja kenangan tentang cilok jajanan favorit kami. Apalagi beberapa teman perempuan tatkala itu senang memanggil penulis 'X Cilok' (maaf nama disamarkan untuk menjaga ketentraman hati hehe), karena kebetulan kepala saya lebih banyak diplontos agar rambut ikal ini tidak tampak awut-awutan jika sedikit saja memanjang.
Ketika tertimpa matahari kepala penulis yang sudah ditipiskan rambutnya ini bagi mereka tampak seperti cilok yang bulat mengkilat itu. Hmm... kalau sudah ingat ini penulis jadi senyum sendiri, teman-teman punya 'panggilan kesayangan' buat penulis, mungkin kalau istilah sekarang di mata mereka kepala penulis itu tampak seksi... hehe
Si Mamang ini cukup cerdik, selain cilok-nya memang enak, dia buat semacam sayembara, di antara cilok-ciloknya diselipkan beberapa cilok berisi cabe rawit. Maksudnya, siapa yang membeli dan kebetulan menusuk cilok yang 'tepat' alias berisi cabe rawit, maka dia akan mendapat hadiah, baik berupa buku tulis atau sehelai karton bergambar.
Cara itu cukup jitu, yang tadinya cukup beli satu akhirnya tertarik membeli dua atau tiga biji hanya untuk mendapatkan cilok yang berisi cabe rawit. Terus terang saja, penulis belum pernah mendapatkannya, entah karena kurang beruntung atau mungkin cilok dengan cabe rawit itu hanya beberapa saja diselipkan di antara puluhan cilok yang ditaruhnya di.... entah apa namanya itu, tempat untuk menyusun makanan yang dikukus?
Nah bertahun-tahun sudah berlalu, sekolah kami disunglap jadi trade center, namun cilok yang pertama kali penulis kenal di waktu itu masih ada sampai sekarang. Rasanya tidak berubah, bentuknya pun tetap sama, bulat mengkilat seperti lengkeng atau rambutan dan cara makannya masih sama: dicolok atau ditusuk dengan lidi, dicelupkan ke kuah kacang dan dibubuhi kecap. Dan... tetap saja dijajakan dalam kesederhanaan.
Meskipun jajanan ini fenomenal dan tampaknya 'everlasting', sampai sekarang penulis tidak pernah mencoba cari tahu cara membuatnya. Padahal ini jajanan nostalgia dan tetap ada sampai sekarang, dengan mudah anda akan menjumpainya di mana-mana, di kampung dan di kota, di pusat atau pinggiran.
Nah, iseng-iseng penulis cari resepnya di internet, informasi tentang cilok sangat melimpah ruah dan ada yang diolah lantas disajikan secara modern. Berikut salah satu resep cara pembuatannya, siapa tahu anda ingin coba buat sendiri. Bahan dasar dan bumbunya mudah didapat dimana-mana.
Selamat mencoba dan semoga berhasil!
Bahan dasar:
- 250 ml air kaldu ayam atau sapi
- 125 gram tepung terigu serba guna
- 200 gram tepung tapioka/ sagu/ kanji
- 2 - 3 sendok teh garam
- 1 ½ sendok teh merica bubuk
- 4 siung bawang putih (dihaluskan)
- 3 batang daun bawang rajang (dihaluskan)
- 2 butir telur
Cara membuat:
- Pertama-tama, siapkan panci anti lengket. Kemudian masukkan air kaldu, bawang putih, garam, dan merica.
- Rebus sampai air kaldu mendidih menggunakan api sedang. Jika air kaldu sudah mendidih, silakan matikan kompor dan masukkan tepung terigu.
- Selanjutnya, aduk adonan hingga padat dan menggumpal menggunakan spatula/ sendok kayu. Kemudian hidupkan kembali kompor dan masak adonan selama 1 menit dengan api kecil sambil diaduk.
- Diamkan adonan sampai dingin. Dilanjut dengan memasukkan telur, tepung tapioka, dan juga bawang ke dalam adonan, kemudian aduk hingga tercampur rata dan uleni adonan menggunakan jemari tangan anda.
- Jika tangan terasa lengket, jangan berfikiran untuk menambahkan tepung atau sejenisnya ke dalam adonan. Cukup dengan menaburi tangan anda dengan tepung tapioka, kemudian lanjutkan kembali proses menguleni adonannya hingga kalis.
- Ambil 1 sdt adonan dan bentuk bulat adonan menggunakan tangan anda. Bentuk bulat semua adonan, kemudian letakkan adonan yang sudah dibulatkan tadi di atas loyang.
- Siapkan panci dan isi dengan air yang banyak. Rebus adonan cilok dalam air mendidih hingga mengapung dan ukurannya menjadi lebih besar.
- Selanjutnya, masukkan air rebusan cilok tadi ke dalam dandang kukusan. Letakkan saringan dandang, dan masukkan cilok di atasnya. Kemudian kukus cilok hingga warnanya menjadi sedikit transparan, kira-kira membutuhkan waktu 15-20 menit.
- Matikan kompor dan biarkan cilok tetap dalam kukusannya agar tetap hangat dan lebih enak di santap. (Resep dari: indirania.com)
Post a Comment